Saturday 14 January 2012

Penyakit IB (Infectious Bronchitis) Pada Ayam

Pendahuluan
IB (Infectious Bronchitis) merupakan suatu penyakit viral pada saluran pernapasan ayam yang bersifat akut dan sangat mudah. Penyakit ini tersifat oleh adanya cairan trakea, batuk dan bersin. Faktor pendukung kejadian penyakit ini di Indonesia, adalah umur ayam yang berbeda dalam satu lokasi dengan program vaksinasi terhadap IB yang bervariasi, sistem pemasaran telur dalam egg trays yang berpindah dari suatu peternakan ke peternakan yang lain atau dari satu daerah ke daerah yang lainnya.

Penyebab penyakit ini adalah  virus corona yang tergolong single stranded (ss) RNA, family  Coronaviridae dan genus Coronavirus. Virus IB umumnya berbentuk bulat, walaupun dapat berbentuk pleomorfik. Virus ini mempunyai envelope dan diameter 90-200 nm. Sejumlah serotipe IB mempunyai struktur antigenik yang berbeda dapat dievaluasi dengan uji netralisasi virus. Meskipun demikian, uji immunofluorecence berbagai serotipe IB tersebut mempunyai suatu grup antigen yang sama.

Berbagai strain virus IB akan menimbulkan efek patologik yang berbeda pada ayam. Virulensi virus IB terhadap saluran reproduksi dan selanjutnya pada produksi telur juga bervariasi, berkisar dari perubahan kerabang tanpa penurunan produksi sampai penuruna produksi 10-50%. Pada umumnya virus IB akan inaktif pada temperatur 560C selama 15 menit dan temperatur 450C selama 90 menit. Virus IB akan mati dengan capat di luar tubuh ayam dan sensitif terhadap berbagai jenis desinfektan (Tabbu, 2000).

Cara Penularan

Friday 13 January 2012

PENGUMUMAN PKM LIMA BIDANG LOLOS PENDANAAN DIKTI 2012

Selamat bagi kawan-kawan yang lolos didanai DIKTI tahun 2012. Untuk yang belum lolos, masih ada kesempatan untuk mencoba, tetap berkarya yaaaa. Untuk Pengumuman PKM yang lolos bisa download di Sini

Monday 2 January 2012

HUBUNGAN KEAMANAN PANGAN DAN AYAM TIREN (MATI KEMARIN) SERTA UNDANG-UNDANG YANG MENGATURNYA

A.    Identifikasi Ayam Mati Kemarin
Daging ayam telah menjadi sumber protein hewani terpenting dari subsektor peternakan. Peran daging ayam selain sebagai substitusi daging sapi yang lebih mahal harganya juga untuk meningkatkan gizi rakyat dengan meningkatkan konsumsi protein hewani. Kasus penjualan ayam tiren (mati kemaren) beberapa tahun terakhir marak terjadi di beberapa daerah. Informasi yang terbatas menyebabkan kasus ini tidak banyak diketahui oleh masyarakat terutama konsumen daging ayam. Ayam tiren pada dasarnya adalah ayam bangkai yaitu ayam yang mati bukan karena disembelih pada saat masih hidup melainkan ayam yang sebelumnya telah mati disebabkan daya tahan yang kurang baik selama perjalanan atau terkena penyakit kemudian sengaja disembelih untuk dijual di pasar (Nareswari, 2006).
Beberapa ciri ayam tiren distanikhut Palembang (2010) antara lain:
1.    Warna kulit kasar dan terdapat bercak – bercak darah pada bagian kepala, ekor, punggung, sayap, dan dada.
2.    Bau agak anyir.
3.    Konsistensi otot dada dan paha lembek.
4.    Serabut otot berwarna kemerahan.
5.    Pembuluh darah di daerah leher dan sayap penuh darah.
6.    Warna hati merah kehitaman.
7.    Bagian dalam karkas berwarna kemerahan.
8.    Ayam  setelah  di  cabuti  bulunya  jika  dimasukkan  plastic  akan  keluar  cairan memerah  dalam plastik.
9.    Warna daging kebiruan dalam proses pembusukan.
10.    Daging ayam setelah digoreng bila diumpankan ke kucing tidak  mau dimakan

Daging ayam mati kemarin, kerap dikaitkan dengan daging berformalin, karena

Sunday 1 January 2012

ASIDOSIS RUMEN AKUT

Permintaan akan protein hewani oleh masyarakat Indonesia semakin meningkat seiring dengan meningkatnya kesadaran akan pemenuhan gizi. Salah satu sumber protein hewani yang cukup potensial adalah daging sapi, sehingga di Indonesia usaha peternakan sapi potong cukup berkembang.  Ada beberapa faktor penting dalam menentukan keberhasilan suatu peternakan, salah satunya adalah manajemen pakan, karena berhubungan erat dengan kualitas dan kuantitas produksinya. Seiring dengan berkembangnya peternakan ternak sapi potong, dikembangkan pula berbagai model manajemen pemberian pakan yang lebih efisien, contohnya pemberian makanan penguat (konsentrat)
Makanan penguat atau konsentrat merupakan makanan dengan kandungan serat kasar rendah (di bawah 18%). Konsentrat dibedakan menjadi dua yaitu sebagai sumber energi dan sumber protein. Konsentrat sumber energi apabila kadar [rotein kurang dari 20%. Sedangkan apabila berkadar protein lebih dari 20% disebut konsentrat sumber protein. Nutrisi utama dari konsentrat berupa protein dan energi (Soetarno, 2003). 
Oleh karena beberapa kelebihan dari konsentrat, seperti kandungan nutrien yang lengkap, kemudahan penyediaan dan penyimpanannya menyebabkan penggunaannya sangat menguntungkan secara ekonomis. Namun, resiko pemberian pakan ternak ruminansia dengan konsentrat yang berlebih dan hijauan yang sedikit  dapat mengakibatkan ternak menderita asidosis.
a. Pengertian
Acidosis sudah dikenal sejak pemakaian pakan bijian menjadi meluas. Acidosis terjadi bila sapi mengkonsumsi carbohydrates yang bisa difermentasi dalam jumlah yang cukup banyak sehingga menyebabkan akumulasi nonphysiologic dan berbarengan dengan penurunan pH. Asam organik adalah produk fermentasi dari mikroba. Pada kondisi intake normal, asam organik tidak menumpuk karena penyerapan ruminal sama dengan produksi. Dalam situasi seperti ini, fermentasi rumen dikatakan stabil dan pH berkisar antara 5,6-6,5, dengan rata-rata pH biasanya sekitar 5,8-6,2; pH kadang-kadang drop di bawah 5,6 untuk jangka waktu singkat selama siklus makanan biasa. Fluktuasi terjadi karena pH ruminal dipengaruhi oleh asupan gandum. Dalam sapi pedaging, ternak diberi pakan konsentrat, menyebabkan turunnya aktifitas pengunyahan dan memamah sehingga pengeluaran air liur berkurang. Selain itu, jika kapasitas absorpsi dari dinding rumen lemak maka kemampuan untuk mempertahankan pH terpengaruh (Anonim1, 2010).
Pakan tinggi energi yang biasanya diberikan untuk sapi perah dapat menempatkan sapi berisiko mengalami asidosis rumen. Pakan tinggi energi mengandung serat deterjen (NDF) yang rendah dan tinggi pati. Sumber pati sering diproses dengan suatu cara untuk mengoptimalkan ketersediaan pati dalam rumen dan sumber serat sangat mudah dicerna karena diberikan dalam bentuk partikel-partikel kecil. Akibatnya, jenis pakan ini sangat mudah difermentasi di rumen dan terjadi kekurangan bahan kasar yang dibutuhkan untuk memaksimalkan memamah biak dan aliran saliva buffer ke rumen. Hasilnya pH dalam rumen menurun dan peningkatan risiko asidosis (Beauchemin, 2007)
Dalam rumen yang sehat dan normal, produksi asam laktat sama dengan asam laktat yang digunakan. Dengan demikian, asam laktat jarang terdeteksi dalam rumen sehat. Namun, sejumlah faktor yang berbeda dengan mudah dapat menyebabkan ketidakseimbangan dalam metabolisme asam laktat (Tabel 1) mengakibatkan asidosis akut maupun sub-akut (Kung, 2006).
Tabel 1. faktor-faktor umum yang menyebabkan asidosis pada sapi perah.
1
Pakan karbohidrat hasil fermentasi yang berlebihan
2
Rasio konsentrat: hijauan terlalu tinggi
3
Terlalu cepat beralih dari hijauan ke berkonsentrat
4
Peralihan pakan dari silase ke hijauan tingkat tinggi yang terlalu cepat
5
Pakan yang rendah kadar serat
6
Pakan yang terlalu segar
7
Hijauan yang dipotong/dicacah terlalu kecil
8
Pencampuran TMR berlebih hingga menghasilkan pengurangan ukuran partikel
9
Mikotoksin

b. Gejala
Gejala dimulai dari perut yang sakit, kemudian ternak tampak lesu, gerakan lambat dan nafsu makan dan minum menurun. Dilanjutkan adanya dehidrasi yang sangat dengan ditandai keringnya cermin hidung, bulu, dan bola mata. Akibat dehidrasi ini, urine yang dikeluarkan juga sangat minim dan berwarna lebih kuning dan keruh..
Dalam keadaan akut gejala klinis akan muncul kurang dari 24 -28 jam. Selain diare, sapi terinfeksi tampak lemah dan tidak mampu berdiri, ruminansia berhenti dan suhu tubuh kurang normal, bila auskultasi denyut jantung terasa lemah dan lebih cepat, maka harapan hidup pada kondisi demikian adalah kecil. Reflek pupil sapi penderita asidosis biasanya jelek, bahkan sering terlihat sapi dalam keadaan buta (Anonim2, 2010).
Oleh adanya asam yang berlebihan, asidosis, akan menyebabkan kenaikan frekuensi pernafasan. Kebanyakan kasus diikuti dengan kelemahan jantung kompensatorik, dengan pulsus piliformis yang frekuensinya 120-140 kali/menit (Subronto, 2008).
Rumen mengalami distensi ke arah lateral maupun medial, yang dapat dikenali dengan eksplorasi rektal. Gas dalam jumlah tidak banyak terdapat bertimbun di atas ingesta yang padat. Pada palpasi isi rumen menunjukkan konsistensi yang padat atau liat (Subronto, 2008).

c. Pencegahan dan Penanggulangan
Pengendalian acidosis jelas Sangat tergantung pada manajemen nutrisi. Karena masalah acidosis subacute tidak mudah dikenali. Namun, penting untuk mewaspadai faktor gizi dan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penanganan acidosis subacute. Evaluasi gizi adalah langkah pertama dalam mengendalikan acidosis. Namun, acidosis dapat terjadi walaupun ternak secara bertahap disesuaikan dengan pakan gandum.. Jenis dan jumlah butiran, jenis prosesing butiran, jenis dan tingkat kekasaran, dan pakan tambahan adalah faktor penting yang mempengaruhi acidosis subacute (Anonim1, 2010).
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah perlunya adaptasi ketika adanya penggantian jenis dan komposisi pakan yang ada. Selain itu pakan kaya serat perlu diberukan untuk memacu produksi saliva saat remastikasi. Pada peternakan feedlot sebaiknya ditambahkan mineral pada konsentrat yang berfungsi sebagai buffer untuk menjaga kestabilan PH.
Untuk mengurangi asidosis dapat diberikan larutan sodium-bikarbonat (NaHCO3) 2,5% sebanyak 500ml disuntikkan intravena secara perlahan-lahan. Apabila diberikan terlalu cepat justru akan mengakibatkan alkaliema yang ditandai dengan tetani dan hiperpnoea. Lebih aman dan mudah dilakukan adalah dengan soda roti sebanyak 250 gram. Diberikan secara oral 2 kali sehari (Subronto, 2008).


DAFTAR PUSTAKA

Anonim1. 2010. Acidosis. http://asosiasi-smd-unsoed.blogspot.com/2009/05/pendahuluan-acidosis-sudah-dikenal.html. Diakses pada tanggal 17 November 2010

Anonim2. 2010. Diare Pada Sapi Dewasa. http://peternakan.kaltimprov.go.id/disnak.php?module=detailpenyakit&id=5. Diakses pada tanggal 17 November 2010

Beauchemin, K. 2007. Ruminal Acidosis in Dairy Cows: Balancing Physically Effective Fiber with Starch Availability. Lethbridge Research Centre Lethbridge Agriculture and Agri-Food Canada

Kung, L. 2008. Acidosis in Dairy Cattle.  http://ag.udel.edu/anfs/faculty/kung/articles/acidosis_in_dairy_cattle.htm Diakses tanggal 17 November 2010

Soetarno, T. 2003. Manajemen Budidaya Sapi Perah. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta

Subronto. 2006. Ilmu Penyakit Ternak I-a. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.